Luwu Timur, Luwurayapos.com -Dunia pendidikan kita kembali tercoreng. Seorang guru yang berusaha menegakkan disiplin justru harus berhadapan dengan hukum—hanya karena menampar siswa yang kedapatan merokok di sekolah.
Tindakan yang semestinya menjadi bagian dari proses pembinaan justru berubah menjadi perkara pidana. Orang tua siswa yang tidak terima melaporkan sang guru, dan kasus ini bahkan menyeret kepala sekolah yang bersangkutan.
Ironinya, ratusan siswa justru melakukan aksi mogok sekolah sebagai bentuk solidaritas, sementara pemerintah provinsi dinilai bereaksi berlebihan dengan memberhentikan kepala sekolah. Sebuah drama pendidikan yang menyedihkan—di mana niat mendidik disalahartikan, dan wibawa guru runtuh oleh ketidakseimbangan tafsir hukum dan emosi publik.
Didikan Dulu Tak Selalu Lembut, Tapi Sarat Makna
Bagi generasi yang bersekolah di era 80-an atau 90-an, teguran keras, cubitan, bahkan tamparan ringan bukan hal asing. Saya pun mengalaminya.
Dulu, orang tua kami tidak marah kepada guru. Mereka justru berkata: “Guru adalah orang tuamu di sekolah. Hormati dia.”
Mereka percaya, ridho guru adalah jalan menuju keberkahan dan kesuksesan.
Lupa Akan Hakikat Pendidikan
Kini, nilai-nilai itu mulai memudar. Banyak orang tua terlalu mudah tersinggung, terlalu cepat menuduh, dan lupa bahwa mendidik bukan hanya soal memberi ilmu, tetapi juga membentuk karakter.
Sekolah kini sering hanya dipandang sebagai tempat mengejar nilai, bukan tempat menanamkan adab.
Padahal, pendidikan sejati adalah perpaduan antara ilmu dan moral. Guru yang menegur dengan niat mendidik seharusnya dilindungi, bukan dikriminalisasi. Sebab ketika guru tidak lagi berani menegur, maka generasi kita akan tumbuh tanpa arah dan tanpa adab.
Negara Harus Hadir Melindungi Guru
Negara perlu segera menghadirkan kebijakan yang jelas dan tegas untuk melindungi guru.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen sebenarnya telah mengatur hak guru untuk memberikan sanksi secara proporsional dalam rangka pembinaan. Sayangnya, implementasi di lapangan sering kali tidak berpihak kepada pendidik.
Kita menitipkan anak-anak ke sekolah bukan hanya untuk pandai berhitung, tetapi agar mereka tumbuh menjadi manusia beradab.
Sebab ketika guru kehilangan wibawa, dan pendidikan kehilangan maknanya, maka yang hancur bukan hanya sekolah—melainkan masa depan bangsa itu sendiri (Red-LRP)