banner 720x90

Hak Jawab Bukan Klarifikasi, Tapi Kewajiban Yang Terlupakan

Luwu Timur, Luwurayapos.com – Hak jawab adalah ruh dari keadilan dalam pemberitaan. Ia bukan sekadar formalitas hukum, melainkan bentuk penghormatan terhadap martabat narasumber dan pembaca. Sayangnya, di tengah derasnya arus berita cepat dan kompetisi klik, makna hak jawab sering kali direduksi menjadi sekadar “klarifikasi ringan” bahkan lebih parah, dimuat oleh media lain yang tidak pernah menyiarkan berita awal.

Praktik semacam ini menunjukkan lemahnya pemahaman sebagian insan pers terhadap Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Pasal 5 ayat (2) UU Pers menyatakan tegas: “Pers wajib melayani hak jawab.” Frasa “pers” di sini jelas menunjuk pada media yang pertama kali mempublikasikan berita, bukan media lain yang sekadar menjadi penyalur suara.

Namun dalam praktik, masih ada media yang “bersembunyi” di balik media lain untuk menghindari tanggung jawab. Narasumber yang keberatan atas isi berita justru harus mengemis ke redaksi lain agar suaranya didengar. Secara hukum, tindakan ini keliru. Secara etika, ia merusak kepercayaan publik terhadap pers.

Bukan Klarifikasi, Tapi Tanggung Jawab Moral

Hak jawab bukanlah kemurahan hati redaksi, melainkan kewajiban moral dan hukum. Ketika media A memberitakan, media A pula yang wajib memberi ruang bagi narasumber untuk menanggapi. Bila media B yang memuat, maka substansinya berubah bukan lagi hak jawab, melainkan sekadar klarifikasi publik.

Dewan Pers sudah berulang kali menegaskan hal ini dalam sejumlah kasus aduan. Pada 2018, misalnya, Dewan Pers menyatakan sebuah media daring lokal melanggar kode etik karena menolak hak jawab dan membiarkan klarifikasi dimuat di media lain. Dalam putusannya, Dewan Pers menilai bahwa pemuatan oleh media lain tidak menghapus kewajiban etik media asal.

Artinya, tanggung jawab tidak bisa dialihkan. Pers yang profesional harus berani memuat kritik terhadap dirinya sendiri sebab di situlah letak kehormatan sebuah redaksi.

Pendidikan Etik yang Terlupakan

Persoalan ini juga memperlihatkan betapa pendidikan etik di ruang redaksi semakin longgar. Banyak wartawan muda menganggap hak jawab hanyalah urusan admin atau formalitas di bawah meja redaktur. Padahal, di situlah salah satu sendi utama jurnalisme berimbang.

Ketika redaksi menolak hak jawab, mereka bukan hanya melanggar pasal hukum, tetapi juga memutus dialog dengan publik. Media kehilangan fungsi sebagai ruang diskusi dan kontrol sosial berubah menjadi menara gading yang kebal kritik.

Kembalikan Etika ke Meja Redaksi

Sudah saatnya redaksi kembali menegakkan etika, bukan hanya kecepatan. Menjalankan hak jawab bukan tanda kelemahan, melainkan bukti integritas. Wartawan yang berani mengoreksi dirinya sendiri sejatinya sedang membela profesinya.

Dunia pers tidak akan runtuh oleh hak jawab justru akan runtuh bila mengabaikannya.

Oleh: Redaksi Luwurayapos.com