Selain itu, PPWI juga menuntut pembebasan segera terhadap para wartawan, pewarta warga, dan seluruh pengunjuk rasa yang ditangkap serta ditahan aparat selama aksi. “Wartawan adalah mata dan telinga publik. Menangkap mereka sama saja dengan membungkam suara rakyat. Semua yang ditahan harus segera dibebaskan tanpa syarat!” tegas Wilson Lalengke.
PPWI menegaskan bahwa tindakan represif aparat jelas bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945 yang berbunyi: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”
Dengan demikian, kekerasan terhadap wartawan dan pewarta warga tidak hanya bentuk pelanggaran HAM, tetapi juga pelanggaran langsung terhadap konstitusi negara. PPWI menyerukan kepada seluruh organisasi pers, masyarakat sipil, dan elemen bangsa untuk bersatu menolak tindakan represif aparat dan memperjuangkan keadilan bagi korban.
“Demokrasi hanya bisa hidup jika pers bebas dan rakyat terlindungi. Jika aparat menjadi algojo bagi rakyatnya sendiri, maka negara ini sedang berjalan menuju otoritarianisme. Kita tidak boleh diam,” seru lulusan pasca sarjana bidang Etika Global dari Universitas Birmingham, Inggris, itu.
Kasus ini menjadi ujian serius bagi komitmen pemerintah terhadap prinsip demokrasi, supremasi hukum, dan penghormatan terhadap kebebasan pers di Indonesia. Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) dengan ini menyampaikan sikap resmi atas tindakan represif aparat kepolisian selama berlangsungnya aksi unjuk rasa mahasiswa bersama rakyat pada 25–30 Agustus 2025 yang mengakibatkan penangkapan, penyekapan, penyiksaan, bahkan pembunuhan terhadap wartawan, pewarta warga, dan masyarakat sipil.