Sorong, Luwurayapos.com – Pendapat seorang ahli bahasa Indonesia terkait kasus “ajakan bermesum ria” yang menimpa wartawati BarindoNews.com yang dilakukan oleh oknum Kepala Bidang Perikanan Provinsi Papua Barat Daya, Semuel Konjol, telah memengaruhi persepsi publik secara signifikan. Hal ini perlu disikapi secara serius, khususnya oleh masyarakat Provinsi Papua Barat Daya. Kekerasan terhadap jurnalis, termasuk kekerasan seksual, masih sering terjadi, dan lemahnya respons dari aparat penegak hukum membuat situasi semakin meresahkan.
Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke, mengkritik keras pernyataan seorang ahli sastra Indonesia yang diminta oleh penyidik Polresta Sorong untuk memberikan pendapat dalam kasus dugaan pornografi dan ajakan tindakan asusila yang melibatkan oknum PNS, Semuel Konjol. Menurut alumni PPRAA-48 Lemhannas RI tahun 2012 itu, pendapat ahli tersebut tidak hanya menyesatkan, tetapi juga merendahkan profesi wartawan dan martabat perempuan.
“Seorang ahli seharusnya menelaah kasus secara cermat berdasarkan bukti-bukti yang ada, termasuk percakapan yang terjadi melalui aplikasi komunikasi, seperti WhatsApp. Saya sangat menyayangkan pendapat yang diberikan justru mencerminkan pola pikir sesat, tidak sehat, dan merugikan korban,” papar Wilson Lalengke, Kamis, 6 November 2025.
Lebih lanjut, Wilson mengkritik dua ahli yang terlibat dalam kasus ini—Drs. Krisnanjaya M.Hum sebagai ahli bahasa dan Dr. Efendi Saragi, S.H., M.H. sebagai ahli hukum pidana. Ia menilai pendapat mereka bertentangan dengan akal sehat, terutama dalam menyimpulkan bahwa kasus ajakan seksual melalui pesan elektronik tidak dapat dilanjutkan secara hukum. Wilson Lalengke mempertanyakan komitmen terhadap perlindungan perempuan dan penegakan hukum di Indonesia.
Dalam kapasitasnya sebagai wakil masyarakat Indonesia dalam forum kemanusiaan di PBB, Wilson Lalengke meminta Kapolda Papua Barat Daya, Brigjen Pol Gatot Haribowo S.I.K, M.I.K, untuk meninjau ulang proses penyidikan dan memanggil kembali penyidik yang menangani kasus ini. “Saya menilai penyidikan yang dilakukan tidak lazim dan perlu diusut tuntas. Jika perlu, harus dilakukan pergantian personel penyidik di Polresta Sorong karena terindikasi mempermainkan hukum berkolaborasi dengan para pihak yang mengaku ‘ahli’, untuk menyelamatkan oknum pejabat tukang mesum itu,” tegas wartawan senior yang terkenal vokal dan getol membela warga terzolimi di negeri ini.
Tanggapan keras juga datang dari Siberandus Refun, Kepala Perwakilan Provinsi Papua Barat dan Papua Barat Daya dari media Koran Pengawas Korupsi dan Info Pengawas Korupsi. Ia menyatakan bahwa kedua ahli tersebut perlu memahami lebih dalam tentang logika dan etika profesi. Sebagai saksi mata dalam pertemuan antara pelaku dan korban di sebuah kafe di kilometer 12 Kota Sorong, Siber menegaskan bahwa ajakan seksual tersebut benar-benar terjadi.
Menurut Siber, pandangan para ahli yang tidak berdasar pada fakta sangat merendahkan profesi wartawan. Ia menekankan bahwa fakta harus menjadi dasar dalam menilai kasus, bukan asumsi atau logika yang tidak relevan.
“Prosedur penyidikan kurang tepat, karena penyidik mendatangi para ahli di Jakarta, alih-alih menghadirkan mereka langsung ke Sorong, di tempat kejadian perkara,” ungkap wartawan yang sering melakukan liputan bersama korban di Sorong ini.
Siber menilai proses hukum dalam kasus ini terkesan lamban dan berbelit-belit. Ia bahkan telah menghubungi Kapolda untuk meminta perhatian lebih terhadap kasus ini. Menurutnya, respons dari Polda cukup baik, namun pelaksanaannya di tingkat Polres masih perlu evaluasi.
Sebagai wartawan yang memperjuangkan hak-hak rakyat, Siber meminta Kapolda Papua Barat Daya untuk menegakkan keadilan dalam kasus yang menimpa korban, Lie Lie Yana Asrul, demi menjaga integritas profesi dan kepercayaan publik terhadap hukum. (TIM/Red)













